Landasan Sosiologis
Pengembagan Kurikulum
Sosiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu,
antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita
tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan
itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab
sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Pendidikan adalah proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah proses
sosialisasi melalui interaksi antarmanusia menuju manusia yang berbudaya. Tiap
masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan
adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu
masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Dalam konteks inilah peserta didik dihadapkan pada budaya manusia, dibina dan
dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya
menjadi manusia yang berbudaya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam
pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat
perkembangan Ilmu Pengetahan dan Teknologi (IPTEK).Sehingga masyarakat
dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum, begitu pula dengan
IPTEK. Oleh karena itu dibutuhkan landasan sosiologi dan IPTEK dalam membangun
kurikulum.
Menurut Nana
Syaodih ada tiga alasan penting program pendidikan menggunalan landasan
Sosiologis, yaitu.
1.
Pendidikan
mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai yang ada dan diharapkan
masyarakat
2.
Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam
masyarakat
3.
Pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan berlangsung.
Dilihat dari substansinya faktor sosiologis sebagai landasan dalam
mengembagkan kurikulum, dapat diuraikan menjadi dua sisi. Yaitu dari sisi
kebudayaan dan kurikulum serta dari unsur masyarakat dan kurikulum.
a.
Kebudayaan
dan Kurikulum
Factor kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum
dengan pertimbangan:
1)
Individu
lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cit-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dll. Semua itu dapat dperoleh inividu melalui interaksi dengan
lingkungan budaa, keluarga, , masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga
pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan/sekolah memiliki tugas khusus
untukmemberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan kurikulum.
2)
Kurikulum
dalam setiap masyarakat pada dasarnya merupkan refleksi dari cara orang
berpikir, berperasaan, bercita-cita, atau kebiasaan. Karena itu dalam
mengembangkan kurikulum perlu memahami kebudayaan. Kebudayaan adalah pola
kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat yang meliputi
keseluruhan ide, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian,
dan sebagainya. Karena setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda, maka
kurikulum setiap daerah pun berbeda-beda sesuai kebudayaan masing-masing
daerah.
3)
Seluruh
nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan
dalam tiga gejala, yaitu:
a)
Ide, konsep,
gagasan, nilai , norma, peraturan, dll. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak
dan adanya dalam pikiran manusia.
b)
Kegiatan.
Yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut
sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya nyata, dapat dilihat. Tindakan
berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya,
system social dalam bentuk aktivitas manusia merupakan perwujudan dari ide,
konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.
c)
Benda hasil
karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan
atau hasil karya manusia di masyarakat . wujud kebudayaan yang ketiga ini
merupakan produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Secara umum pendidikan pada
dasarnya bermaksud mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi
dengan anggota masyarakat lainnya. Hal ini membawa pernyataan bahwa kurikulum
sebagai salah satu alat mencapai tujuan pendidikan bermuatn kebudayaan yang
bersifat umum pula, seperti: Nilai-nilai, sikap, pengetauan, kecakapan dan
kegiatan yang bersidat umum yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Selain pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat khusus, yaitu untuk
aspek-aspek kehidupan tertentu dan berkenaan dengan kelompok yang sifatnya
vokasional. Keadaan seperti itumenuntut kurikulum yang bersifat khusus pula.
Misalnya untuk pendidikan vokasional biasanya berkenaan dengan latar belakang
pendidikan, status ekonomi, dan cita-cita tertentu sehingga mempunyai batas
waktu dan daerah ajar yang tertentu pula.
b.
Masyarakat
dan kurikulum
Masyarakat adalah suatu
kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam kelompok berbeda.
Dilihat dari definisi tersebut,maka kebudayaan dapat dibedakan dengan istilah
masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu yang teroganisir yang
berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau
masyarakat lainnya.
Tiap masarakat memiliki
kebudayaan sendiri, dengan demikian yang membedakan masyarakat yang satu dengan
yang lainnya adalah kebudayaan. Apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang,
reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia
dibesarkan.
Faktor pengembangan kurikulum
dalam masyrakat
Kurikulum sebagai program
pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Ada beberapa
faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum dalam
masyrakat, antara lain:
1) Kebutuhan masyarakat
Tuntutan masyarakat adalah
salah satu dasar dalam mengembangkan kurikulum. Kebutuhan masyarakat tak pernah
tak terbatas dan beraneka ragam. Oleh karena itu lembaga pendidikan berusaha
menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang dapat dijadikan sebagai
penggali kebutuhan masyarakat.
2)
Perubahan
dan perkembangan masyarakat
Masayarakat adalah suatu
lembaga yang hidup, selalu berkembang dan berubah. Para Pembina dan pelaksana
kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat sesuai
dengan IPTEK, agar apa yang diberikan kepada peserta didik relevan dan dapat
berguna bagi kehidupan peserta didik tersebut di masyarakat.
Perubahan dan perkembangan nilai yang ada dalam
masyarakat sering menimbulkan konflik antar generasi. Dengan diadakannya
pendidikan diharapkan konflik yang terjadi antar generasi dapat teratasi.
3)
Tri pusat
pendidikan
Yang dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah
bahwa pusat pendidikan dapat bertempat di rumah, sekolah , dan di masyarakat.
Selain itu mass media, lembaga pendidikan agama, serta lingkungan fisik juga
dapat berperan sebagai pusat pendidikan.
Ruang lingkup pengembangan
kurikulum dalam masyrakat
Lingkungan atau dunia sekitar
manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian besar, yaitu :
1) Dunia alam
kodrat
Dunia alam
kodrat merupakan segala sesuatu di luar diri kita yang berpengaruh sangat kuat
dalam kehidupan kita, misalnya : penampakan alam (gunung,laut,dll). Untuk mengubah dan mengatasi
pengaruh tersebut maka kita harus dapat menggunakan IPTEK dengan benar. Dengan
demikian dalam mengembangkan kurikulum hendaknya kita berusaha untuk memasukkan
masalah-masalah yang berupa gejala-gejala dalam alam kodrat.
2)
Dunia
sekitar benda-benda buatan manusia
Dunia sekitar benda-benda buatan manusia
merupakan benda-benda yang diciptakan manusia sebagai alat pemuas kubutuhannya.
Untuk itu keterampilan fisik dan psikis harus dikembangkan dalam pembelajaran,
sehuingga dapat menghasilkan segala sesuatu yang menjadi sarana dan prasarana
yang dibutuhkan masyarakat.
3)
Dunia
sekitar manusia
Dunia sekitar manusia merupakan dunia yang
paling kompleks, sebab selalu berubah dan dinamis. Interaksi antar individu
berjalan sangat aktif. Untuk itu diperlukannya norma dalam pergaulan masyarakat
agar interaksi dalat berjalan dengan baik.
Fungsi sistem dan lembaga
pendidikan dari segi sosiologis bagi kepentingan masyarakat
Dari segi sosiologis sistem dan lembaga pendidikan di dalamnya dapat
dipandang sebagai badan yang mempunyai berbagai fungsi bagi kepentingan
masyarakat, antara lain:
1)
Mengadakan
perbaikan, bahkan perombakan sosial
2)
Mempertahankan
kebebasan akademis dan kebebasan mengadkan penelitian ilmiah
3)
Mendukung
dan turut memberi sumbangan kepada pembangunan nasional
4)
Menyampaikan
kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
5)
Mengeksploitasi
orang banyak demi kesejahteraan dolongan elite
6)
Mewujudkan
revolusi sosial untuk melenyakan pengaruh pemerintahan terdahulu
7)
Mendukung
golongan tertentu seperti golongan militer, industri atau politik
8) Mengarahkan dan mendisiplinkan
jalan pikiran generasi muda
9)
Mendorong
dan mempercepat laju kemajuan IPTEK
10) Mendidik generasi mudamenjadi
arga negara nasional dan warga dunia
11) Mengajar keterampilan pokok seperti
membaca, menulis, dan berhitung
12) Memberi keterampilan dasar berkaitan dengan mata pencaharian.
Penerapan Landasan Sosiologis
pengembangan kurikulum di Indonesia
Karena
keadaan masyarakat di setiap daerah berbeda, maka kurikulumnya pun berbeda. Seperti
kurilulum sekolah yang berada di pusat kota/perkotaan pastinya berbeda dengan
kurikulum sekolah yang ada di desa. Karena harus sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan masing-masing daerah tersebut. Berikut adalah artikel contoh keadaan
pendidikan di pedesaan.
“Sekolahnya Orang Desa”
Perhatian pemerintah yang sangat berlebihan terhadap
pembangunan di wilayah perkotaan, mengakibatkan arus urbanisasi penduduk
pedesaan ke kota-kota besar terus meningkat tajam setiap tahunnya. Ketidakmampuan desa untuk
berhadapan dengan pesatnya kemajuan kota salah satunya diakibatkan oleh
kelemahan sistem pendidikan yang ada di desa itu sendiri. Seringkali pengembangan
pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah desa banyak yang tidak
disesuaikan terlebih dahulu dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat.
Bahkan yang lebih memprihatinkan dalam penyusunan kurikulum terkadang disamakan
dengan pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah kota. Hal ini kemudian
menyebabkan sekolah-sekolah di pedesaan menjadi tidak mungkin mampu dalam
menjawab tantangan serta peluang kerja yang ada di daerahnya sendiri. Akhirnya
muncul kecenderungan bila ada seorang anak desa yang terdidik, maka ia akan
enggan untuk bekerja di desanya dan selanjutnya lebih memilih pergi untuk
mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan ke kota.
Untuk
mengatasi permasalahan disparitas antara desa dan kota di atas, sebetulnya
pemerintah telah menstimulusnya dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi
pendidikan yang berada satu paket dengan pelaksanaan otonomi daerah. UU No. 22
tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah menuntut dilaksanakannya otonomi daerah dan wawasan
demokrasi, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi ini pun
berpengaruh pada sistem pendidikan nasional dari sistem sentralisasi ke bentuk
desentralisasi. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ini juga terwujud
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam kurikulum nasional yang berlaku saat ini (KTSP
2006), sekolah dan komite sekolah diberi kewenangan yang luas untuk
mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta didik,
keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Maka dari itu, fokus
pengembangan kurikulum sekolah khususnya di wilayah pedesaan akan lebih
efektif apabila dikhususkan kepada pembentukan sekolah-sekolah berbasis
masyarakat (community based school). Sekolah berbasis masyarakat merupakan
pengelolaan sekolah dengan melibatkan partisipasi segenap masyarakat yang ada
di sekitar lingkungan sekolah. Penyelenggaran sekolah berbasis masyarakat
merupakan salah satu dari manifestasi dari desentralisasi pendidikan dan konsep
otonomi daerah. Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan akan
memperbesar partisipasi masyarakat. Dengan demikian peran serta masyarakat
dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada
dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat
terhadap pendidikan meningkat lebih tinggi.
Penyelenggaraan
pendidikan di masyarakat pedesaan diharapkan bisa menerapkan sistem
pembelajaran di luar kelas, salah satu alternatif kreatifnya adalah dengan
menyelenggarakan model Connecting Intermoda, yaitu dengan belajar
langsung mengambil tempat di pusat-pusat kegiatan masyarakat. Selain di lokasi
sekolah sendiri, tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai wahana belajar
adalah: kantor pemerintahan, kepolisian, puskesmas, areal persawahan dan
perkebunan, pasar rakyat, industri rumahan, obyek wisata lokal, dan di
tempat-tempat lain yang relevan dengan pembelajaran. Pengenalan keadaan
lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk
lebih mengakrabkan dengan lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan
melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik.
Pengembangan konsep sekolah berbasis masyarakat
dilatar belakangi oleh filosofi bahwa pendidikan adalah sebuah entitas yang
tidak bisa berdiri sendiri dan mesti ditopang oleh berbagai elemen
masyarakat. Pemerintah tidak mungkin dapat bekerja sendiri dalam meningkatkan kualitas
mutu pendidikan di desa-desa. Pendidikan desa tidak mungkin berkembang optimal
tanpa adanya partisipasi dari semua komponen masyarakat. Maka dari itu,
pemerintah harus dapat melakukan mobilisasi sumber daya manusia setempat dan
dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih
besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan disemua jenjang,
jenis dan jalur pendidikan di desa.
Munculnya partisipasi masyarakat diharapkan akan pula
mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap pendidikan, rasa
kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima
sosial budaya. Sebab bagaimanapun juga, sekolah adalah institusi sosial yang berperan
strategis untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pembentukan generasi
muda desa yang memiliki pola pikir visioner terhadap daerahnya. Untuk mengikat
hubungan antara masyarakat dengan sekolah salah satunya bisa difasilitasi
dengan mengembangkan kurikulum lokal (baca: Muatan Lokal / MULOK) yang berguna
bagi kebutuhan masyarakat di wilayahnya, sehingga tercipta sistem pendidikan
yang link and match. Ketika hubungan antara sekolah dan masyarakat
dapat saling bekerjasama secara sinergis, maka fungsi dan manfaat pendidikan
secara otomatis akan semakin menguatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan.
Begitu pun sebaliknya, kegagalan sinergisasi antara sekolah dengan masyarakat,
ujung-ujungnya hanya akan semakin mempertinggi angka urbanisasi kaum terpelajar
dari pelosok desa ke kota-kota besar.(Agung Pardini)
Kemudian ada
satu artikel yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 di Papua pengetahuan tentang
HIV-AIDS telah masuk ke dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan (mulai
dari SD hingga SMA), hal ini karena penyebaran virus HIV di papua sudah tingi
mengingat keadaan di papua yang masih “primitive”.
“Pengetahuan HIV-AIDS Masuk Kurikulum di Papua”
JAKARTA,
(PRLM).- Penyebaran HIV-AIDS di Papua saat ini sudah mencapai tahap epidemi,
karena tidak lagi hanya menyebar di kalangan risiko tinggi, tetapi juga sudah
menyebar ke kelompok-kelompok lain seperti ibu rumah tangga dan juga anak-anak
muda di Papua.
Demikian
menurut Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Bidang Program,
Fonny J. Silfanus, yang menanggapi dengan positif dimasukannya HIV-AIDS dalam
kurikulum sekolah di Papua. Menurutnya, ini sangat penting untuk menekan laju
penyebaran HIV-AIDS di wilayah tersebut.
Dinas
Pendidikan Provinsi Papua memasukan HIV-AIDS dalam kurikulum sekolah untuk
tingkat sekolah dasar (SD)hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Fonny J.
Silfanus mengatakan, "Dibanding provinsi lain tingkat epidemi di Papua bisa
disebut generalized epidemic, karena sudah di atas 2,4 persen, sedangkan di
provinsi-provinsi di luar Papua masih di bawah satu persen. Jadi masih rendah.
Remaja juga harus diberikan pengetahuan, pengetahuan tentang HIV-AIDS, karena
kita harus mencegah jangan sampai jatuh ke perilaku beresiko."
Sebagian
besar kasus penularan HIV-AIDS di Papua terjadi melalui hubungan seksual.
Fonny J.
Silafanus menambahkan pihaknya saat ini terus melakukan sosialisasi kepada
masyarakat luas di Papua tentang bahaya penyakit HIV-AIDS ini. Selain itu,
Komisi Penanggulangan AIDS juga melakukan sosialisasi tentang penggunaan kondom
di wilayah tersebut, karena saat ini penggunaan kondom di Papua masih sangat
rendah.
"Penanganan
HIV-AIDS di provinsi lain masih diprioritaskan kepada kelompok yang kita tahu
rawan berisiko. Tetapi, di Papua penanganannya harus ditingkatkan ke seluruh
masyarakat umum, jadi sosialisasi ke masyarakat umum lebih ditingkatkan,"
kata Fonny J. Silafanus, yang dikutip "VOA".
Kerja sama
dengan sektor agama dan penggunaan kondom masih rendah sekali, menurut
Silafanus, yaitu masih sekitar 30 persen. Tujuh puluh persen sisanya,
tambahnya, tidak memakai kondom secara konsisten, sehingga penularan terus
terjadi.
Komisioner
Komnas Perempuan Sylvana Maria Apituley mendesak pemerintah agar serius
menangani permasalahan HIV-AIDS di Papua yang sudah sangat tinggi. Ia
mengatakan, "Perempuan muda, ibu-ibu menjadi ODHA (orang yang hidup dengan
AIDS) dan sangat rentan menjad ODHA dan tingkat penyebaran di Papua adalah 16
kali lipat tingkat penyebaran nasional. Jadi, kondisi ini sudah sangat
serius."
Data dari
Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia,
baru provinsi Papua yang telah mengembangkan kurikulum HIV-AIDS.