blog muhammad hamka ( fakultas Agama Islam )Universitas Muhammadiah Pontianak
animasi bergerak naruto dan onepiece

Jumat, 15 April 2016

prosedur pemberhentian bagi PNS yg menjadi salah satu anggota partai politik



Yang dimaksud PNS yang  menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik adala PNS yang terdaftar sebagai anggota dan atau pengurus partai politik.
Pasal 2
1.       PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
2.       PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai PNS
Pasal 3
1.    PNS yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai PNS
2.    PNS yang mengundurkan diri diberhentikan dengan hormat sebagai PNS
3.    Pemberhentian berlaku TMT akhir bulan mengajukan pengunduran diri.
Pasal 4
1.       Pemberhentian ditangguhkan apabila :
a.Dalam pemeriksaan  berkaitan dengan pelanggaran disiplin berupa PTDH sebagai PNS
b.Sedang banding ke BAPEK
c.Mempunyai tanggung jawab kedinasan yang sulit dialihkan
2.       Penangguhan untuk huruf a dan b, dilakukan sampai ada keputusan hukum tetap.
3.       Penangguhan huruf c,  paling lama 6 bulan.
Pasal 5
1.       Pengunduran diri diajukan tertulis skepada PPK dan tembusannya disampaikan kepada :
a.       Atasan langsung PNS paling rendah Eselon IV
b.      Pejabat kepegawaian ybs
c.       Pejabat keuangan ybs 
2.       Atasan wajib membuat pertimbangan kepada PPK paling lambat 10 hari kerja
3.       PPK wajib mengambil keputusan paling lambat 10 hari kerja.
4.       PPK wajib mengambil keputusan paling lama 20 hari kerja
5.       Apabila dalam waktu 20 hari tidak ada keputusan dianggap dikabulkan
6.       PPK harus menetapkan SK pemberhentian paling lambat 30 hari sejak dianggap dikabulkan.
Pasal 9
PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik tanpa mengundurkan diri sebagai PNS diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS
Pemberhentian berlaku terhitung mulai akhir bulan ybs menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
PNS yang mengundurkan diri dan ditangguhkan pemberhentiannya, tetapi tetap menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS terhitung mulai akhir bulan ybs menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
Pasal 10
Ketentuan dalam  Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi PNS yang akan menjadi calon anggota DPD
Pasal 11
PNS yang diberhentikan  dengan hormat atau tidak dengan hormat  diberikan hak-haknya sesuai ketentuan yang berlaku.

Jumat, 20 Juni 2014

hukum memperingati hari natal dalam islam

Landasan Sosiologis Pengembagan Kurikulum



Landasan Sosiologis Pengembagan Kurikulum
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi antarmanusia menuju manusia yang berbudaya. Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam konteks inilah peserta didik dihadapkan pada budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan Ilmu Pengetahan dan Teknologi (IPTEK).Sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum, begitu pula dengan IPTEK. Oleh karena itu dibutuhkan landasan sosiologi dan IPTEK dalam membangun kurikulum.
Menurut Nana Syaodih ada tiga alasan penting program pendidikan menggunalan landasan Sosiologis, yaitu.
1.                    Pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai yang ada dan diharapkan masyarakat
2.                   Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat
3.                   Pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan berlangsung.
Dilihat dari substansinya faktor sosiologis sebagai landasan dalam mengembagkan kurikulum, dapat diuraikan menjadi dua sisi. Yaitu dari sisi kebudayaan dan kurikulum serta dari unsur masyarakat dan kurikulum.
a.     Kebudayaan dan Kurikulum
Factor kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
1)      Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cit-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dll. Semua itu dapat dperoleh inividu melalui interaksi dengan lingkungan budaa, keluarga, , masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan/sekolah memiliki tugas khusus untukmemberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan kurikulum.
2)     Kurikulum dalam setiap masyarakat pada dasarnya merupkan refleksi dari cara orang berpikir, berperasaan, bercita-cita, atau kebiasaan. Karena itu dalam mengembangkan kurikulum perlu memahami kebudayaan. Kebudayaan adalah pola kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat yang meliputi keseluruhan ide, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan sebagainya. Karena setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda, maka kurikulum setiap daerah pun berbeda-beda sesuai kebudayaan masing-masing daerah.
3)     Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
a)     Ide, konsep, gagasan, nilai , norma, peraturan, dll. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak dan adanya dalam pikiran manusia.
b)     Kegiatan. Yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya nyata, dapat dilihat. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya, system social dalam bentuk aktivitas manusia merupakan perwujudan dari ide, konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.
c)      Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat . wujud kebudayaan yang ketiga ini merupakan produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Secara umum pendidikan pada dasarnya bermaksud mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi dengan anggota masyarakat lainnya. Hal ini membawa pernyataan bahwa kurikulum sebagai salah satu alat mencapai tujuan pendidikan bermuatn kebudayaan yang bersifat umum pula, seperti: Nilai-nilai, sikap, pengetauan, kecakapan dan kegiatan yang bersidat umum yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Selain pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan tertentu dan berkenaan dengan kelompok yang sifatnya vokasional. Keadaan seperti itumenuntut kurikulum yang bersifat khusus pula. Misalnya untuk pendidikan vokasional biasanya berkenaan dengan latar belakang pendidikan, status ekonomi, dan cita-cita tertentu sehingga mempunyai batas waktu dan daerah ajar yang tertentu pula.
b.     Masyarakat dan kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam kelompok berbeda. Dilihat dari definisi tersebut,maka kebudayaan dapat dibedakan dengan istilah masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu yang teroganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap masarakat memiliki kebudayaan sendiri, dengan demikian yang membedakan masyarakat yang satu dengan yang lainnya adalah kebudayaan. Apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia dibesarkan.
Faktor pengembangan kurikulum dalam masyrakat
Kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum dalam masyrakat, antara lain:
1)      Kebutuhan masyarakat
Tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam mengembangkan kurikulum. Kebutuhan masyarakat tak pernah tak terbatas dan beraneka ragam. Oleh karena itu lembaga pendidikan berusaha menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang dapat dijadikan sebagai penggali kebutuhan masyarakat.

2)     Perubahan dan perkembangan masyarakat
Masayarakat adalah suatu lembaga yang hidup, selalu berkembang dan berubah. Para Pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat sesuai dengan IPTEK, agar apa yang diberikan kepada peserta didik relevan dan dapat berguna bagi kehidupan peserta didik tersebut di masyarakat.
Perubahan dan perkembangan nilai yang ada dalam masyarakat sering menimbulkan konflik antar generasi. Dengan diadakannya pendidikan diharapkan konflik yang terjadi antar generasi dapat teratasi.

3)     Tri pusat pendidikan
Yang dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah bahwa pusat pendidikan dapat bertempat di rumah, sekolah , dan di masyarakat. Selain itu mass media, lembaga pendidikan agama, serta lingkungan fisik juga dapat berperan sebagai pusat pendidikan.
Ruang lingkup pengembangan kurikulum dalam masyrakat
Lingkungan atau dunia sekitar manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian besar, yaitu :
1)      Dunia alam kodrat
Dunia alam kodrat merupakan segala sesuatu di luar diri kita yang berpengaruh sangat kuat dalam kehidupan kita, misalnya : penampakan alam (gunung,laut,dll). Untuk mengubah dan mengatasi pengaruh tersebut maka kita harus dapat menggunakan IPTEK dengan benar. Dengan demikian dalam mengembangkan kurikulum hendaknya kita berusaha untuk memasukkan masalah-masalah yang berupa gejala-gejala dalam alam kodrat.

2)     Dunia sekitar benda-benda buatan manusia
Dunia sekitar benda-benda buatan manusia merupakan benda-benda yang diciptakan manusia sebagai alat pemuas kubutuhannya. Untuk itu keterampilan fisik dan psikis harus dikembangkan dalam pembelajaran, sehuingga dapat menghasilkan segala sesuatu yang menjadi sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat.

3)     Dunia sekitar manusia
Dunia sekitar manusia merupakan dunia yang paling kompleks, sebab selalu berubah dan dinamis. Interaksi antar individu berjalan sangat aktif. Untuk itu diperlukannya norma dalam pergaulan masyarakat agar interaksi dalat berjalan dengan baik.

Fungsi sistem dan lembaga pendidikan dari segi sosiologis bagi kepentingan masyarakat
Dari segi sosiologis sistem dan lembaga pendidikan di dalamnya dapat dipandang sebagai badan yang mempunyai berbagai fungsi bagi kepentingan masyarakat, antara lain:
1)      Mengadakan perbaikan, bahkan perombakan sosial
2)     Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan mengadkan penelitian ilmiah
3)     Mendukung dan turut memberi sumbangan kepada pembangunan nasional
4)     Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
5)     Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan dolongan elite
6)     Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyakan pengaruh pemerintahan terdahulu
7)     Mendukung golongan tertentu seperti golongan militer, industri atau politik
8)    Mengarahkan dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda
9)     Mendorong dan mempercepat laju kemajuan IPTEK
10) Mendidik generasi mudamenjadi arga negara nasional dan warga dunia
11)  Mengajar keterampilan pokok seperti membaca, menulis, dan berhitung
12) Memberi keterampilan dasar berkaitan dengan mata pencaharian.

Penerapan Landasan Sosiologis pengembangan kurikulum di Indonesia
Karena keadaan masyarakat di setiap daerah berbeda, maka kurikulumnya pun berbeda. Seperti kurilulum sekolah yang berada di pusat kota/perkotaan pastinya berbeda dengan kurikulum sekolah yang ada di desa. Karena harus sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing daerah tersebut. Berikut adalah artikel contoh keadaan pendidikan di pedesaan.

“Sekolahnya Orang Desa”
Perhatian pemerintah yang sangat berlebihan terhadap pembangunan di wilayah perkotaan, mengakibatkan arus urbanisasi penduduk pedesaan ke kota-kota besar terus meningkat tajam setiap tahunnya. Ketidakmampuan desa untuk berhadapan dengan pesatnya kemajuan kota salah satunya diakibatkan oleh kelemahan sistem pendidikan yang ada di desa itu sendiri. Seringkali pengembangan pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah desa banyak yang tidak disesuaikan terlebih dahulu dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Bahkan yang lebih memprihatinkan dalam penyusunan kurikulum terkadang disamakan dengan pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah kota. Hal ini kemudian menyebabkan sekolah-sekolah di pedesaan menjadi tidak mungkin mampu dalam menjawab tantangan serta peluang kerja yang ada di daerahnya sendiri. Akhirnya muncul kecenderungan bila ada seorang anak desa yang terdidik, maka ia akan enggan untuk bekerja di desanya dan selanjutnya lebih memilih pergi untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan ke kota.
Untuk mengatasi permasalahan disparitas antara desa dan kota di atas, sebetulnya pemerintah telah menstimulusnya dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi pendidikan yang berada satu paket dengan pelaksanaan otonomi daerah. UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menuntut dilaksanakannya otonomi daerah dan wawasan demokrasi, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi ini pun berpengaruh pada sistem pendidikan nasional dari sistem sentralisasi ke bentuk desentralisasi. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ini juga terwujud dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam kurikulum nasional yang berlaku saat ini (KTSP 2006), sekolah dan komite sekolah diberi kewenangan yang luas untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Maka dari itu, fokus pengembangan  kurikulum sekolah khususnya di wilayah pedesaan akan lebih efektif apabila dikhususkan kepada pembentukan sekolah-sekolah berbasis masyarakat (community based school). Sekolah berbasis masyarakat merupakan pengelolaan sekolah dengan melibatkan partisipasi segenap masyarakat yang ada di sekitar lingkungan sekolah. Penyelenggaran sekolah berbasis masyarakat merupakan salah satu dari manifestasi dari desentralisasi pendidikan dan konsep otonomi daerah. Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan akan memperbesar partisipasi masyarakat. Dengan demikian peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan meningkat lebih tinggi.
Penyelenggaraan pendidikan di masyarakat pedesaan diharapkan bisa menerapkan sistem pembelajaran di luar kelas, salah satu alternatif kreatifnya adalah dengan menyelenggarakan model Connecting Intermoda, yaitu dengan belajar langsung mengambil tempat di pusat-pusat kegiatan masyarakat. Selain di lokasi sekolah sendiri, tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai wahana belajar adalah: kantor pemerintahan, kepolisian, puskesmas, areal persawahan dan perkebunan, pasar rakyat, industri rumahan, obyek wisata lokal, dan di tempat-tempat lain yang relevan dengan pembelajaran. Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik.
Pengembangan konsep sekolah berbasis masyarakat dilatar belakangi oleh filosofi bahwa pendidikan adalah sebuah entitas yang tidak bisa berdiri sendiri dan mesti ditopang oleh berbagai   elemen masyarakat. Pemerintah tidak mungkin dapat bekerja sendiri dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan di desa-desa. Pendidikan desa tidak mungkin berkembang optimal tanpa adanya partisipasi dari semua komponen masyarakat. Maka dari itu, pemerintah harus dapat melakukan mobilisasi sumber daya manusia setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur pendidikan di desa.
Munculnya partisipasi masyarakat diharapkan akan pula mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap pendidikan, rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya. Sebab bagaimanapun juga, sekolah adalah institusi sosial yang berperan strategis untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pembentukan generasi muda desa yang memiliki pola pikir visioner terhadap daerahnya. Untuk mengikat hubungan antara masyarakat dengan sekolah salah satunya bisa difasilitasi dengan mengembangkan kurikulum lokal (baca: Muatan Lokal / MULOK) yang berguna bagi kebutuhan masyarakat di wilayahnya, sehingga tercipta sistem pendidikan yang link and match. Ketika hubungan antara sekolah dan masyarakat dapat saling bekerjasama secara sinergis, maka fungsi dan manfaat pendidikan secara otomatis akan semakin menguatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan. Begitu pun sebaliknya, kegagalan sinergisasi antara sekolah dengan masyarakat, ujung-ujungnya hanya akan semakin mempertinggi angka urbanisasi kaum terpelajar dari pelosok desa ke kota-kota besar.(Agung Pardini)

Kemudian ada satu artikel yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 di Papua pengetahuan tentang HIV-AIDS telah masuk ke dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan (mulai dari SD hingga SMA), hal ini karena penyebaran virus HIV di papua sudah tingi mengingat keadaan di papua yang masih “primitive”.
Berikut adalah artikel yang dikutip dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/137652
“Pengetahuan HIV-AIDS Masuk Kurikulum di Papua”
JAKARTA, (PRLM).- Penyebaran HIV-AIDS di Papua saat ini sudah mencapai tahap epidemi, karena tidak lagi hanya menyebar di kalangan risiko tinggi, tetapi juga sudah menyebar ke kelompok-kelompok lain seperti ibu rumah tangga dan juga anak-anak muda di Papua.
Demikian menurut Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Bidang Program, Fonny J. Silfanus, yang menanggapi dengan positif dimasukannya HIV-AIDS dalam kurikulum sekolah di Papua. Menurutnya, ini sangat penting untuk menekan laju penyebaran HIV-AIDS di wilayah tersebut.
Dinas Pendidikan Provinsi Papua memasukan HIV-AIDS dalam kurikulum sekolah untuk tingkat sekolah dasar (SD)hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Fonny J. Silfanus mengatakan, "Dibanding provinsi lain tingkat epidemi di Papua bisa disebut generalized epidemic, karena sudah di atas 2,4 persen, sedangkan di provinsi-provinsi di luar Papua masih di bawah satu persen. Jadi masih rendah. Remaja juga harus diberikan pengetahuan, pengetahuan tentang HIV-AIDS, karena kita harus mencegah jangan sampai jatuh ke perilaku beresiko."
Sebagian besar kasus penularan HIV-AIDS di Papua terjadi melalui hubungan seksual.
Fonny J. Silafanus menambahkan pihaknya saat ini terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas di Papua tentang bahaya penyakit HIV-AIDS ini. Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS juga melakukan sosialisasi tentang penggunaan kondom di wilayah tersebut, karena saat ini penggunaan kondom di Papua masih sangat rendah.
"Penanganan HIV-AIDS di provinsi lain masih diprioritaskan kepada kelompok yang kita tahu rawan berisiko. Tetapi, di Papua penanganannya harus ditingkatkan ke seluruh masyarakat umum, jadi sosialisasi ke masyarakat umum lebih ditingkatkan," kata Fonny J. Silafanus, yang dikutip "VOA".
Kerja sama dengan sektor agama dan penggunaan kondom masih rendah sekali, menurut Silafanus, yaitu masih sekitar 30 persen. Tujuh puluh persen sisanya, tambahnya, tidak memakai kondom secara konsisten, sehingga penularan terus terjadi.
Komisioner Komnas Perempuan Sylvana Maria Apituley mendesak pemerintah agar serius menangani permasalahan HIV-AIDS di Papua yang sudah sangat tinggi. Ia mengatakan, "Perempuan muda, ibu-ibu menjadi ODHA (orang yang hidup dengan AIDS) dan sangat rentan menjad ODHA dan tingkat penyebaran di Papua adalah 16 kali lipat tingkat penyebaran nasional. Jadi, kondisi ini sudah sangat serius."
Data dari Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia, baru provinsi Papua yang telah mengembangkan kurikulum HIV-AIDS.